Prolog
“Tunggu! Jangan tinggalkan aku!” ucapnya
kepadaku dari kejauhan.
“Ayo
cepat, nanti kita terlambat!” sembari berlari aku mengajak dia lari lebih
cepat.
“Iya!”
jawabnya.
Lalu
kami sampai di tempat dimana kami biasa menyaksikan matahari terbit, setiap
hari. Iya, kami tidak pernah melewatkan saat dimana langit berwarna jingga, dan
awan menjadi kuning keemasan, sangat indah. Sinarnya yang begitu terang,
menembus dinginnya pagi. Sebuah kehangatan sejati yang menghangatkan ladang
bunga di belakang rumah nenek.